Paradoks Ekonomi Indonesia 2025: Ketika Indikator Makro tidak Sejalan dengan Realita Mikro


SANRAnews (Yogyakarta) Pada awal tahun 2025, Indonesia tengah berada dalam dilema besar. Di satu sisi, data makroekonomi menunjukkan angka-angka yang menggembirakan, dengan *pertumbuhan ekonomi yang positif dan surplus ekspor yang stabil*. Namun, di sisi lain, kehidupan masyarakat di lapangan memberikan gambaran yang jauh berbeda. *PHK massal, turunnya daya beli masyarakat, depresiasi rupiah, IHSG yang ambrol* menjadi kenyataan yang sulit diabaikan.

Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah peningkatan angka *PHK,* terutama di sektor-sektor industri besar seperti tekstil dan alas kaki. Di Tangerang, dua pabrik sepatu terpaksa menutup pintunya, memecat ribuan pekerja akibat penurunan pesanan dan biaya produksi yang semakin tidak terkendali. Begitu juga dengan industri tekstil yang terpaksa menutup 65 pabriknya, akibat harga bahan baku yang melambung tinggi dan persaingan yang semakin ketat. Angka pengangguran pun semakin membengkak, dan banyak pekerja yang sulit mencari pekerjaan baru.

Namun, di acara Business di Kompas TV, *Febrio Kacaribu,* Kepala Kebijakan Fiskal Kemenkeu, mengungkapkan bahwa sektor ekspor tekstil dan sepatu tetap mengalami surplus, yang dianggap sebagai bukti positif dari kinerja ekonomi Indonesia. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Meskipun ekspor meningkat, sektor-sektor domestik yang mendukung industri tersebut justru terpuruk. Ini menjadi contoh nyata dari ketidakselarasan antara data *makroekonomi* dengan *realita* yang dirasakan oleh masyarakat. Surplus ekspor yang tercatat tidak banyak membantu mereka yang bekerja di sektor ini, bahkan tidak sedikit yang harus kehilangan pekerjaan.

Keadaan ini semakin diperburuk dengan *defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)* yang tercatat sekitar 35,2 triliun rupiah pada tahun 2025. Meskipun Febrio Kacaribu berpendapat bahwa defisit ini disebabkan oleh restitusi pajak yang besar pada akhir 2024, yang seharusnya tidak menjadi masalah besar, kenyataannya menunjukkan bahwa *pemerintah sedang kesulitan dalam mengelola keuangan negara.* Efisiensi anggaran yang dipaksakan dengan memangkas sekitar 30% belanja negara pada sektor-sektor vital dan penting menjadi bukti bahwa perekonomian Indonesia masih menghadapi tantangan besar.

Selain itu, *Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)* jatuh sekitar 20% sejak 2024 hingga akhir Februari 2025, yang semakin memperburuk ketidakpastian pasar dan kondisi ekonomi. Di sisi lain, *depresiasi rupiah* yang mencapai *Rp 16.600* per USD pada Februari 2025, dibandingkan dengan Rp 14.500 pada akhir 2024, mencatatkan penurunan sekitar 14,5%. Hal ini turut memperburuk kondisi pasar riil dan indikator ekonomi yang semakin menunjukkan tanda-tanda melemahnya daya beli masyarakat.

Kondisi ini mengarah pada kesenjangan yang semakin melebar antara data makro yang menunjukkan pertumbuhan dan kenyataan di lapangan yang semakin sulit. Kepercayaan masyarakat terhadap data ekonomi resmi pun semakin menurun. Banyak yang merasa bahwa meskipun angka-angka ekonomi menunjukkan kinerja yang baik, kenyataannya kehidupan mereka semakin sulit.

Krisis ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia mencatatkan angka-angka positif di sektor ekonomi makro, seperti *pertumbuhan ekonomi yang solid* dan *surplus ekspor,* kenyataannya banyak lapisan masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari angka-angka tersebut. Hal ini bukan hanya tentang pertumbuhan yang tidak merata, tetapi juga tentang *ketidakmampuan kebijakan ekonomi* untuk menjangkau dan mengangkat kehidupan mereka yang paling membutuhkan. Seiring berjalannya waktu, masyarakat semakin skeptis terhadap *data ekonomi* yang dikeluarkan oleh pemerintah, karena yang mereka rasakan sehari-hari jauh berbeda dari apa yang tercermin dalam laporan makroekonomi.

Dengan kondisi yang demikian, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Apakah kita benar-benar merasakan manfaat dari *pertumbuhan ekonomi* yang dilaporkan? Ataukah kita terjebak dalam *paradoks ekonomi* di mana data yang positif tidak sejalan dengan kenyataan yang dirasakan oleh rakyat? Ke depannya, penting bagi Indonesia untuk tidak hanya melihat angka-angka yang baik di atas kertas, tetapi juga memastikan bahwa *pertumbuhan ekonomi* benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan *kebijakan yang ada mampu mengatasi ketimpangan* yang semakin melebar.

*Daftar Pustaka*

1. *Badan Pusat Statistik (BPS). (2024)*,Koefisien Gini Indonesia Tahun 2023. Diakses dari https://www.bps.go.id

2. *Febrio Kacaribu. (2025).* Wawancara di Kompas TV: Surplus Ekspor TPT dan Sepatu. Diakses dari https://www.kompas.tv

3. *Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025).* Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id

4. *World Bank. (2024).* Indonesia Economic Outlook 2024: Economic Resilience and Structural Challenges. Diakses dari https://www.worldbank.org

5. *The Jakarta Post. (2025).* Defisit Anggaran Indonesia dan Tantangan Pengelolaan Fiskal di Tahun 2025. Diakses dari https://www.thejakartapost.com

6. *Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (2024).* Analisis Ketimpangan Sosial di Indonesia: Penyebab dan Solusi. Diakses dari https://www.indef.or.id

(Elang cyber, yk, 28 Maret 2025)

Berita Terkait

Top