Ekonomi Indonesia 2025: Seperti Sanksak Terpukul Berulang Kali!

SANRAnews (Yogyakarta) Sudah banyak pabrik yang tutup, PHK massal menjadi kenyataan yang tak bisa dipungkiri, dan pengurangan anggaran pemerintah yang mencapai *30%*, yang efeknya sudah mulai tampak pada sektor pariwisata. *Industri perhotelan mengeluhkan tingkat huniannya menurun drastis.*
Pada saat yang sama, Indonesia juga menghadapi *defisit APBN* yang semakin membengkak. Dengan angka mencapai *35,2 triliun rupiah,* negara mulai kesulitan menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara. Ditambah lagi, turunnya *Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)* yang membuat para investor semakin ragu dan menarik dana mereka dari pasar saham Indonesia.
*Penurunan IHSG ini turut memperburuk kepercayaan investor,* yang kini semakin terkikis. Tak hanya itu, *rupiah pun terdepresiasi* hingga mencapai nilai terendah dalam 15 tahun terakhir, menembus angka *16.800 per dolar AS*- anggaran semakin seret, dan rakyat semakin terhimpit.
Namun, yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa *tarif 32% untuk produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat* kini mulai berlaku. Ini merupakan pukulan telak bagi *industri tekstil* dan *alas kaki* Indonesia, yang selama ini bertahan meskipun berada di ambang kebangkrutan.
Pabrik-pabrik tekstil yang sudah berjuang keras untuk mempertahankan roda produksi kini harus menghadapi kenyataan pahit: *barang ekspor Indonesia jadi mahal,* sementara negara pesaing seperti *Bangladesh, Kamboja,* dan *Myanmar* tetap bisa menjual produk mereka dengan harga yang lebih bersaing.
Perusahaan tekstil dan sepatu Indonesia yang selama ini sudah berjuang keras untuk tetap eksis di pasar AS, terpaksa mengatur strategi bertahan hidup. Dengan tarif *32%* yang baru diterapkan, mereka akan sulit untuk bersaing, dan harga barang menjadi lebih mahal.
Produk Indonesia, yang selama ini dikenal dengan *harga yang kompetitif,* kini menghadapi masalah besar: jika harga jualnya lebih tinggi, akan banyak konsumen AS yang beralih ke barang dari negara lain. Kalau Indonesia masih ingin bersaing, apakah mereka akan menurunkan harga produknya? *Sementara biaya produksi juga melonjak* akibat inflasi dan kenaikan harga bahan baku?
Dan jangan lupakan sektor *kelapa sawit,* yang merupakan *komoditas andalan Indonesia.* Di tengah penurunan harga minyak sawit global, Malaysia yang hanya dikenakan *tarif 24%* di pasar AS masih memiliki daya saing lebih baik dibandingkan Indonesia yang dikenakan *tarif 32%.* Apa Indonesia akan menurunkan harga *14%* agar bisa bersaing? Tentu saja, ini bukan pilihan yang mudah. *Turunnya harga kelapa sawit akan berimbas pada sektor perkebunan,* yang juga sedang berada di posisi terhimpit.
*Dampak dari tarif 32% ini bisa dibilang seperti menambah panas pada api yang sudah menyala.* Produk-produk kita yang sebelumnya mampu bersaing harus mengalami *stagnasi* atau bahkan *kegagalan total*. Pabrik tekstil yang sudah megap-megap mempertahankan produksi akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka tidak bisa lagi bersaing di pasar yang sangat mengutamakan harga.
Sementara itu, sektor-sektor lain yang juga terancam oleh kebijakan tarif ini mulai merasakan dampaknya.
Ini memang situasi yang sangat tragis dan penuh kesulitan. *Seperti seorang petinju yang sudah dipukul bertubi-tubi* dan mencoba bangkit, Indonesia harus menghadapi tantangan berat ini—tarif 32% dari AS hanya menjadi *pukulan tambahan* bagi sektor-sektor yang sudah sangat lemah. Kini, setelah *PHK massal,* penutupan pabrik, dan depresiasi rupiah, kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita harus berjuang lebih keras lagi untuk tetap bertahan di tengah gelombang tantangan ekonomi yang semakin tinggi.
Namun, ada yang mungkin berkomentar, “*Eksport Indonesia ke Amerika Serikat hanya 10,3% dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia, jadi kenapa harus khawatir?”* Meskipun komentar tersebut valid, dan ada benarnya bahwa *10,3% memang terkesan kecil,* namun *dampaknya jauh lebih besar dari yang terlihat.* Dalam kondisi ekonomi yang tertekan seperti saat ini, bahkan angka kecil ini tetap memiliki *dampak signifikan,* karena sektor-sektor yang bergantung pada pasar AS—seperti tekstil, alas kaki, dan kelapa sawit—merupakan bagian vital dari perekonomian Indonesia.
Kebijakan tarif ini tidak hanya mempengaruhi *volume ekspor,* tetapi juga berisiko menambah kesulitan bagi seluruh *ekosistem ekonomi* yang terhubung dengan sektor-sektor tersebut. Saat *tarif 32%* ini diterapkan, *harga produk Indonesia menjadi lebih tinggi,* membuat konsumen AS beralih ke negara pesaing yang tidak dikenakan tarif tinggi. Negara-negara seperti *Bangladesh, Kamboja,* dan bahkan beberapa negara *Afrika* yang lebih murah dalam harga produksi bisa menjadi pilihan bagi konsumen AS.
Tidak hanya soal pasar, namun juga soal pengaruh terhadap *nilai tukar rupiah,* yang sangat dipengaruhi oleh dolar AS. Jika ekspor Indonesia ke AS terhambat, ada potensi *capital outflows* – yaitu keluarnya modal asing dari Indonesia. Ketidakpastian pasar ini bisa menyebabkan investor asing menarik dana mereka, yang pada gilirannya membuat rupiah semakin *terdepresiasi.* Depresiasi rupiah berisiko memperburuk *inflasi*, karena harga barang impor menjadi lebih mahal, dan daya beli masyarakat Indonesia semakin tergerus.
Secara keseluruhan, meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya berkontribusi sekitar *10,3%* dari total ekspor, kebijakan tarif *32%* yang diterapkan oleh AS tetap memberikan dampak yang jauh lebih besar dan berjangka panjang, terutama di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang sudah rapuh. Ini bukan hanya soal seberapa besar persentase ekspor kita ke AS, tetapi tentang *ketahanan sektor-sektor vital* yang menggantungkan nasib mereka pada pasar tersebut. Tarif ini hanya menambah beban ekonomi yang sudah terlanjur tertekan, dan bisa memicu kerugian lebih lanjut bagi sektor-sektor yang selama ini berjuang keras untuk bertahan.
*Jadi, meskipun 10,3% terlihat kecil, dampak dari kebijakan tarif ini jauh dari sepele.* Ini bisa menjadi *pemicu keruntuhan* di sektor-sektor yang sudah berada di ujung tanduk. Ini adalah pukulan bertubi-tubi yang hanya menambah derita ekonomi Indonesia yang sudah mengalami banyak tekanan.
*Tapi, meskipun tantangan besar di depan mata, jangan lupa kita selalu punya kekuatan untuk bangkit*. Jangan jadi *sansak*, jadilah *petinju yang ulung dan pintar memukul lawan* seperti *Fighter,* yang cerdik dan bukan hanya boxer—terus bertahan, terus berusaha, dan temukan cara baru untuk keluar dari situasi sulit ini.
*Karena di setiap pukulan, ada peluang untuk bangkit lebih kuat lagi.*
*Daftar Pustaka*
1.”PHK Massal Terus Meningkat di Indonesia, Penyebab dan Dampaknya.” *BBC News Indonesia,* 2025.
2.”Defisit APBN Indonesia Mencapai 35,2 Triliun Rupiah, Pemerintah Berupaya Menjaga Stabilitas.” *CNN Indonesia,* 2025.
3.”Rupiah Terdepresiasi ke Level Terendah dalam 15 Tahun Terakhir.” *Tempo.co,* 2025.
4.”Pemerintah AS Terapkan Tarif 32% untuk Produk Indonesia: Dampaknya pada Industri Tekstil dan Sepatu.” *Reuters,* 2025.
5.”Mengevaluasi Dampak Tarif 32% bagi Ekspor Indonesia ke AS: Tantangan Bagi Industri Tekstil dan Kelapa Sawit.” *Liputan6,* 2025.
6.”Kelapa Sawit Indonesia Terpukul Akibat Turunnya Harga Global dan Tarif Impor AS.” *Tribun News,* 2025.
7.”Ekonomi Indonesia 2025: Jalan Terjal Menuju Pemulihan.” *Kontan,* 2025.
(Elang cyber, yk, 03 April 2025)