Danantara: Niat Mulia atau Sekadar Mesin ATM Baru untuk Oligarki?

SANRAnews (Yogyakarta) Di tengah sorak-sorai pembangunan yang terus bergulir, muncul lah *Danantara*—sebuah lembaga yang digadang-gadang menjadi penyelamat bagi proyek-proyek strategis yang kesulitan pendanaan. Janji mulianya adalah memberikan akses pembiayaan yang lebih mudah dan cepat untuk pembangunan negara. Namun, di zaman di mana *startup sekelas GoTo* bisa mengumpulkan dana hingga puluhan triliun dari pasar modal, kita wajib bertanya: *masihkah kita perlu Danantara?* Bukankah seharusnya proyek yang benar-benar strategis dan prospektif sudah bisa menarik perhatian investor tanpa perlu “penyelamat”?
*Pasar modal Indonesia* saat ini sudah jauh lebih matang dibandingkan beberapa tahun lalu. Perusahaan-perusahaan besar seperti *Tokopedia* berhasil menggalang dana besar melalui *IPO*, sementara sektor swasta juga semakin cermat dalam menangkap peluang bisnis. Jika sebuah proyek memang memiliki potensi yang solid, investor pasti datang tanpa harus menunggu lembaga seperti Danantara. Lalu, kenapa kita masih merasa perlu Danantara? Bukankah itu berarti kita *meragukan kemampuan pasar modal kita sendiri?*
Tentu, ada yang berpendapat bahwa proyek-proyek strategis yang besar dan membutuhkan *pendanaan jangka panjang* memang tak bisa diselesaikan hanya dengan pasar modal. Mungkin ada benarnya. Proyek-proyek infrastruktur besar atau pengembangan industri yang membutuhkan dana dalam jumlah besar tentu memerlukan sumber pendanaan yang stabil dan jangka panjang. Tapi, mari kita jujur, bukankah sumber-sumber pendanaan lain sudah cukup melimpah? *Bank Plat Merah (BUMN), Bank Pembangunan Daerah, surat utang, bahkan dana pensiun*-semua sudah ada. Jadi, pertanyaannya adalah: apakah benar kita membutuhkan *Danantara* untuk mengisi celah yang seharusnya sudah bisa diisi oleh berbagai sumber pendanaan yang ada? Atau, jangan-jangan, kita hanya menciptakan lembaga baru yang justru membuka celah baru untuk praktik-praktik yang tidak diinginkan?
Jika kita tengok sejarah, ada dua proyek besar yang gagal dengan penuh ambisi: *IPTN* dan *mobil nasional Timor.* IPTN, yang dibangun dengan segala kecanggihan teknologi di bawah kepemimpinan *BJ Habibie,* akhirnya kandas akibat *krisis moneter 1998.* Begitu juga dengan Timor, yang meski digadang-gadang sebagai mobil nasional, nyatanya hanya menjadi mobil impor tanpa ada peningkatan teknologi yang signifikan. Kedua proyek ini gagal bukan karena kurangnya niat baik, tetapi karena *ketergantungan yang berlebihan pada anggaran negara* dan *campur tangan politik* yang terlalu kuat. Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah belajar dari kesalahan tersebut? Jangan sampai *Danantara* justru menjadi *ladang baru bagi permainan lama* yang menguntungkan segelintir orang.
Danantara mengandalkan *dividen BUMN* sebagai sumber pembiayaan. Meskipun klaimnya dana ini bukan berasal dari *APBN,* pada kenyataannya uang itu tetaplah *milik publik.* Lalu, bagaimana dengan *transparansi dan akuntabilitasnya?* Kita perlu memastikan bahwa mekanisme ini tidak akan menjadi ajang baru bagi para pemain lama untuk mengambil keuntungan dari dana publik dengan kedok proyek strategis. Jika proyek yang dibiayai ternyata *tidak bankable* alias tak layak secara komersial, bukankah itu menunjukkan bahwa proyek tersebut sebenarnya *tidak benar-benar strategis?* Proyek yang benar-benar strategis harus mampu menarik minat investor tanpa perlu melibatkan negara.
Kita semua tentu berharap Danantara akan menjadi *solusi nyata,* bukan masalah baru. Namun, dengan semua sumber pendanaan yang sudah ada—*Bank Plat Merah (BUMN), pasar modal, surat utang*-apakah benar-benar ada celah yang belum terisi? Mungkin saja Danantara adalah *jawaban untuk masalah yang tidak ada*, atau mungkin hanya alat baru untuk kepentingan segelintir pihak yang lebih memilih jalan pintas. Kita perlu memastikan bahwa lembaga ini tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti proyek-proyek besar sebelumnya, yang akhirnya hanya menjadi ajang bagi *oligarki* untuk mendapatkan akses ke dana publik.
Dengan segala sumber pendanaan yang sudah tersedia, mari kita awasi dengan seksama apakah Danantara benar-benar akan membawa dampak positif bagi pembangunan nasional, atau justru akan menjadi *babak baru dalam drama panjang oligarki Indonesia*. Sebagai warga negara yang berhak atas *transparansi* dan *akuntabilitas,* kita punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa lembaga ini benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang yang sudah kenyang dengan kekuasaan.
*Daftar Pustaka*
1.*Habibie, B. (2003).* _Indonesia: Menggugat Masa Depan_ (Cetakan ke-2). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
2.*Winarno, M. (2019).* _Oligarki di Indonesia: Politik, Ekonomi, dan Kekuasaan._ Yogyakarta: Penerbit Jurnalindo.
3.*Santosa, R. (2021).* “_Revolusi Industri 4.0 dan Peran Pasar Modal di Indonesia.”_ Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 17(4), 232-249.
4.*Jakarta Post. (2023).* _”Danantara: Solusi atau Tantangan Baru bagi Pembiayaan Infrastruktur Indonesia?”._ The Jakarta Post, 22 Mei 2023.
(Elang cyber, yk, 04 April 2025)